Nyawa Yang Berdiri Di Atas Kecepatan Jalanan
Dalam beberapa bulan belakangan ini, saya menyaksikan beberapa “peristiwa menakjubkan”, yang berkaitan dengan ketahanan hidup, kecepatan, atau barangkali juga kesialan dan kemalangan di satu sisi. Peristiwa tersebut sebenarnya biasa-biasa saja, dalam artian ia kerapkali lumrah terjadi sewaktu-waktu di lingkungan sekitar kita. Atau kalau kita cari peristiwa tersebut di Youtube, akan ada banyak video yang menunjukkan peristiwa serupa.
Refleksi dan kesadaran subjektif-lah yang membuat peristiwa biasa tersebut seolah-olah luar biasa. Satu peristiwa menyimpan kompleksitas fakta yang tak mungkin terungkap semua, layaknya kepingan puzzle. Belum di dalamnya juga ada unsur-unsur konflik narasi dan batin. Tidak hanya itu, pengetahuan atas kompleksitas fakta kerapkali terdistorsi oleh kesadaran subjektif. Hal ini yang membuat satu peristiwa sudah selalu menyimpan keunikannya tersendiri, yang terbedakan dengan peristiwa-peristiwa lainnya meskipun memiliki gambaran permukaan yang serupa.
I
Pertama. Sekitar 2 (dua) bulan lalu, kisaran Januari 2019, seperti hari-hari biasanya, saya berangkat kerja seperti biasa ke kantor untuk memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang nasibnya sial karena ditindas oleh struktur sistem -hukum dan ekonomi politik- yang timpang. Sudah seperti biasa-biasanya juga, saya pulang larut malam. Dalam kesunyian jalanan pedesaan dan kepingan kabut dari Stasiun Citayam menuju rumah saya, saya menarik gas motor saya sembari ditemani alunan musik skate-punk jepang.
Hingga kemudian saya memasuki jalan raya, semangat saya masih menggebu-gebu meski tubuh sudah lelah ingin cepat beristirahat. Hingga sampailah saya di persimpangan jalan dekat sebuah toko swalayan, saya melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak di tengah jalan. Kecepatan motor saya turunkan secara perlahan-lahan. Tepat dalam radius sekitar 5 meter, saya menyaksikan ternyata ada seekor hewan yang terbaring di jalanan sedang meronta-ronta sembari tercecer darahnya dari lehernya.
Sontak saya kaget. Setelah dilihat seksama, hewan tersebut adalah kucing. Dilihat dari postur tubuhnya, mungkin baru berumur sekitar 1 tahunan. Tampak di pinggir jalan sudah ada bapak-bapak yang hendak mengevakuasi makhluk yang malang itu. Karena tubuh yang sudah letih, saya memutuskan untuk meneruskan tancapan gas motor hingga menuju rumah.
Selama sisa perjalanan dan sesampainya di rumah, saya masih terngiang-ngiang atas peristiwa naas tersebut. Rasanya masih terbayang gerakan tubuh-tubuh kucing yang meronta kesakitan, beserta kucuran darahnya yang mengalir di aspal jalanan. Tak terbayang juga bagaimana peristiwa itu diawali dengan derap langkah si kucing yang hendak menyebrang, lantas ada pengendara kendaraan yang memacu gasnya dengan kecepatan tinggi.
Di satu sisi, rasa iba masih membayangi benakku. Di satu sisi lainnya, nalarku bekerja keras mencerap dan menafsir peristiwa tersebut. Bahkan hingga esok harinya, saat saya kembali hendak berangkat kerja ke kantor, peristiwa semalam masih terus menghantui benakku.
II
Yang kedua adalah, peristiwa di akhir pekan pada pertengahan bulan Februari 2019. Saat itu saya sedang berada di Bandung, Jawa Barat, untuk sejenak melepas penat dan bervakansi ria. Waktu itu, saya menumpang nginap di bilangan Sukajadi, Bandung, di tempat kawan seorang penyair muda & performance artist yang cukup lama malang melintang di Bandung dan Semarang.
Di hari kedua, saya memacu kendaraan motor tersebut dari Sukajadi Bandung ke Jatinangor Sumedang. Seperti biasa, saya melalui jalanan yang perlahan-lahan terlihat sempit karena dipadati oleh kendaraan pribadi masyarakat Bandung: yang hasilnya adalah kemacetan. Durasi jarak tempuh pada saat itu saya perkirakan sekitar 1 (satu) jam antara kedua tempat itu.
Hingga kemudian melewati daerah UIN Bandung Cibiru menuju Cileunyi, jalan masih tampak lengang. Mungkin akibat pasca hujan lebat. Namun saat hendak memasuki Cileunyi dan Jatinangor, jalanan menjadi macet. Tak terhitung kendaraan mobil tidak bisa bergerak sama sekali. Meski begitu, kendaraan motor masih bisa bergerak sembari mencuri celah-celah dan salib sana-sini di antara pinggir/bahu jalan.
Pada saat itu, saya pikir penyebabnya adalah karena kemacetan biasa di persimpangan jalan. Pikiranku lantas berubah. Kemudian saya berubah asumsi, bahwa kemacetan ini mungkin dikarenakan kendaraan yang mogok, atau barangkali pertempuran antar kelompok gang motor atau juga kelompok supporter bola.
Motor perlahan-lahan saya arahkan untuk terus maju, sembari menyalib kiri-kanan. Hingga kemudian tampak terlihat ada keramaian warga yang berdiri di pinggir jalan, menyaksikan suatu hal. Saat itu, asumsi saya masih belum berubah. Hingga saya melewati kerumunan warga tersebut, tampak ada seseorang yang memberhentikan mobilnya dan berbincang-bincang dengan warga sekitar. Sejenak perhatian saya teralihkan pada momen peristiwa tersebut.
Persis pada posisi itu, perhatian saya teralihkan kembali dengan adanya penampakan gundukan kardus-kardus di pinggir jalan. Sekilas saya mencermati gundukan tersebut. Ternyata dari gundukan tersebut, tampak ada sepasang kaki yang terbaring. Sontak saya kaget: wah, ternyata ada yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Tak jauh dari gundukan itu, saya juga melihat ada motor yang sudah terkapar dan rusak berkeping-keping tak karuan.
Dilihat dari penampakan sepasang kaki yang mencuat di gundukan kardus, tampak si korban adalah anak muda, mungkin anak kuliahan. Hal ini saya lihat dari celana jeans yang ia pakai terbilang cukup modis, dan juga sepatunya yang cukup keren.
Karena jalanan masih mengantri macet, saya lekas bergegas dari lokasi, tak bisa lama-lama memperlambat laju kendaraan. Sepanjang perjalanan Cileunyi hingga Jatinangor, pikiran saya masih bercampur aduk tak karuan: antara iba hingga ngeri. Meski begitu, pikiran saya di satu sisi lain masih bertanya-tanya bagaimana momen dan penyebab kecelakaan tersebut terjadi.
Kematian di jalanan seolah tak terelakkan bagi anak muda itu. Nasibnya berakhir di jalanan, tepat di jalanan yang becek setelah diguyur hujan yang tampaknya besar. Tak terbayang bagaimana bila anak muda tersebut sedang ditunggu oleh pacar atau kawannya, untuk sekedar nongkrong di kafe atau jalan-jalan. Atau ditunggu oleh orang tua dan saudaranya di rumah.
III
Dua cerita di atas adalah cerita yang saya lihat persis dan nyata di jalanan, meski fakta-fakta peristiwanya tak begitu dapat terangkai secara objektif apa adanya. Dari dua peristiwa tersebut, ada beberapa hal yang saya refleksikan, dan hal ini ada kaitannya juga dengan etos yang tampaknya remeh temeh, dan sebenarnya bersifat common sense.
Pertama, pertarungan atas ruang. Saya merefleksikan jalanan hingga trotoar adalah minatur ruang kehidupan. Orang dan makhluk hidup lainnya, saling menampilkan diri sana-sini dalam ruang tersebut. Tak jarang yang muncul adalah pertarungan. Dalam kasus jalanan di kota-kota besar, jalanan adalah cerita mengenai pertarungan masyarakat urban.
Pengendara motor saling memacu gasnya, begitu juga dengan mobil. Pengandara sepeda, dengan kecepatannya yang lambat dan postur tubuh yang kecil, kerap mendapatkan ruang yang sempit di pinggiran. Tak jarang ketiga-tiganya saling menyerempet satu sama lain. Tak cukup sampai di sana, ruang trotoar jalan yang notabenenya adalah ruang pejalan kaki, turut direbut oleh pengendara kendaraan. Di banyak titik, tidak hanya kendaraan yang merebut ruang pejalan kaki, namun juga direbut oleh pedagang kaki lima atau pun pengelola parkiran toko.
Pada situasi itu, relasi kuasa terbentuk sedemikian rupa. Penanda relasi kuasa -selain aktor-aktor-, dapat dilihat dari adanya kecepatan, kebesaran, hingga seragam dan kapital. Kehadiran hukum beserta aparaturnya -Satpol PP, Polantas, Petugas Dishub-, menjadi dinamisator keseimbangan struktur kuasa di jalanan.
Hukum-hukum di jalanan dibuat untuk menciptakan kondisi ideal, yang memenangkan banyak pihak berkepentingan, sehingga semua pihak dapat menikmati akses hidup di jalanan tanpa mendapatkan kerugian yang banyak. Ia berbicara dalam banyak hal: keamanan, kecepatan, penghormatan, keselamatan, konsentrasi, dan lainnya.
Ketika keseimbangan tersebut dilanggar, maka yang terjadi adalah sedikit kekacauan (chaos). Tatanan yang ambruk oleh kekacauan ini, yang menjadikan kondisi-kondisi muncul berbelok ke arah yang tidak tertentukan, yang padahal sebelumnya telah didikte oleh hukum dan aparatnya. Kecelakaan di jalanan adalah ekses dari runtuhnya keseimbangan tersebut, baik yang muncul karena dilanggarnya hukum, atau pun karena ketiadaan hukum itu sendiri di jalanan.
Kedua, jalanan sebagai miniatur ruang kehidupan adalah dilihat dari ketahanan diri subjek untuk terus eksis di dalamnya. Sebagaimana sudah disinggung di atas, hidup di jalanan yang paling menonjol adalah soal kecepatan. Meski tubuh besar atau tubuh kecil, selama ia tidak bisa memacu kecepatan ke tingkat ideal dan maksimal, perlahan-lahan ia akan digilas bahkan tersingkir.
Terlepas apakah di jalanan tersebut ada hukum dan aparatnya atau tidak, kecepatan menjadi prasyarat utama agar maksud dan tujuan di jalanan dapat dilalui. Kecepatan berkaitan erat dengan ambisi, ketangkasan, hingga sumber daya (skill, modal, dll.). Artinya, kecepatan bisa menentukan ketahanan diri sekaligus kekuatan.
Meski begitu, bila ia tidak dikendalikan, ia akan berubah menjadi malapetaka. Kekuatan yang tidak kondisional/kontekstual, tentu akan melabrak tatanan, dan dalam batasan tertentu akan mencelakai diri sendiri bila tidak diiringi dengan kendali moral diri dan hukum. Pembatasan ini memperhatikan kepentingan diri sendiri (subjektif) dan kepentingan sekitar (objektif) agar tetap ada dan berkelanjutan.
Saya sendiri selalu curiga, kecepatan yang menuntut tinggi dan tak terkendali seperti mengadopsi logika kapitalisme dalam mengakumulasi modal/kapital. Sirkuit kapitalisme dengan lubang dan krisis sana-sani, selalu berhasil memainkan kecepatan berputarnya agar mendapatkan keuntungan yang besar dari proses-proses penghisapan yang ia lakukan. Namun tepat pada titik tersebut, ketiadaan pengendalian diri dalam sirkuit kapitalisme membawa bencana yang besar juga: kemiskinan dan ketimpangan, bencana ekologis, hingga perang.
Ketiga, dan yang terakhir adalah, hidup di jalanan dengan kendaraan bermotor membutuhkan pembatasan berupa nilai-nilai etos seperti kerja keras, kesabaran, kecermatan, ketelitian, tidak berlebihan. Nilai-nilai etos ini hanya muncul dari dalam diri dan atas kesadaran diri. Fungsinya adalah membatasi kendali diri selama di jalanan.
Kekacauan di jalanan, selain kerap terjadi karena masalah sistem (hukum, tatanan, dll.) dan sumber daya (kecepatan serta ketidakcepatan), juga terjadi karena tidak adanya nilai etos pembatasan diri seperti yang disebutkan di atas. Meski nilai-nilai etos ini seolah remeh temeh, ia berperan sentral untuk menciptakan keseimbangan ekosistem di jalanan.
Dari dua peristiwa yang saya saksikan dan sebutkan di atas, saya menduga-duga penyebab kecelakaan yang menimpa para korban tersebut bisa jadi salah satu dari ketiga problem di atas: aturan hukum, kecepatan/sumber daya, atau pun pengendalian diri.
Misalnya dalam kasus penabrakan kucing, sejauh yang saya ketahui, belum ada regulasi yang mengatur secara ketat dan spesifik terkait keberadaan hewan di jalanan, baik itu ayam, kucing, anjing, dll. Di ruang dan wilayah mana saja boleh ada hewan, dan di tempat mana ia bisa menyebrang. Belum ada regulasi hukum yang mengatur hal tersebut. Maka kasus-kasus tabrak lari hewan di jalanan menjadi satu hal yang mungkin pasti akan terjadi berulang-ulang.
Selain itu, hewan dengan segala kemampuannya, memiliki keterbatasan. Dalam hal kecepatan diri, tentu hewan kalah bersaing dengan kecepatan kendaraan bermotor. Meski ia memiliki insting yang sensitif, ketika kecepatan yang ia miliki tidak memadai dan beradu dengan momen dan kecepatan kendaraan bermotor, maka tabrak lari bisa jadi tidak terelakkan.
Dalam kasus pemuda yang jadi korban tabrakan di Cileunyi Bandung, dugaan saya problemnya terletak pada masalah kecepatan (sumber daya) dan ketiadaan pengendalian diri. Tentu letak kesalahannya bisa jadi tidak hanya atau tidak pada si korban, namun juga si pengendara mobil. Tapi fakta peristiwa yang saya dapatkan, belum sampai cerita tersebut. Sehingga sulit untuk menerka-nerka siapa yang sebenarnya bersalah dan bermasalah.
Meski begitu, terlepas dari 2 (dua) hal penyebab tersebut, ada satu hal lain yang membuat saya berefleksi: terkadang hal-hal kecil, dapat berdampak signifikan untuk satu hal yang besar. Maksudnya adalah, bisa jadi kecelakaan tersebut disebabkan oleh hal-hal yang tampaknya kecil: batu kerikil di jalanan yang licin, ketidaktelitian, dan sebagainya. Namun karena hal remeh temeh tersebut tidak diperhatikan, dampaknya adalah satu hal yang sangat besar: hilangnya nyawa.
Bukankah nyawa makhluk hidup bisa jadi lebih besar dan berarti ketimbang batu kerikil di jalanan, kan? []